Didalam buku "Provokasi" oleh Prasetya M Brata ada sebuah Kisah menceritakan sebagai berikut: Diislam, Yang mau disembelih oleh nabi Ibrahim a.s adalah ismail. Di kristen, yang mau disembelih nabi Ibrahim adalah ishak. Ketika masalah ini dibawa ke Gus Dur untuk menanyakan yang mana yang benar, Gus Dur Menjawab: "Gitu aja kok repot, Yang penting dua-duanya selamat!"
Kisah ini membuat saya terpikirkan akan hal bagaimana cara untuk belajar dalam menyelesaikan masalah. Bagi saya ini adalah langkah baru dalam mematangkan cara berpikir. Ketika kita stuck dihadapkan antara pilihan-pilihan atau konfilk, naiklah ketingkat berpikir lebih tinggi. Dengan adalah menyelesaikan ego diri sendiri terlebih dahulu, lalu berorientasilah ke masa depan bukan berkubang Dengan masa lalu. Serta tanyakan pada diri apa penting nya hal itu bagi kita? Apa pengaruhnya bagi kita? Apa tujuannya? Apa dampaknya/hasilnya?
Melihat darii Kisah yang diceritakan sedikitnya menjadi rujukan saya saat saya menghadapi pilihan-pilihan dan konfilk yang datang kepada saya.
Ketika saya tahu saat berdebat, keadaannya sama-sama untuk saling membuat kebaikan dan yang diperdebatkan adalah masalah kecil karena berada dalam level cara, tindakan atau prilaku. Seketika semangat menyelesaikan konfilk menjadi positif.
Seringkali kita terjebak dalam melihat setting permasalahan. Bukannya membahas pemecahan atau jalan keluar dari issue dasar, kita malah terjebak pada situasi :"Karena mereka berbeda pendapat dengan saya, maka dia salah. Dia sedang dalam masalah: untuk itu dia harus dikoreksi atau diluruskan dahulu" Saat tujuan dari esensi yang dituju tidak mendapatkan titik terang maka sering kali mencari-cari kesalahan dan mempertanyakan penyebab yang seharusnya ditanggung bersama. Kalau pikiran sudah dipenuhi emosi. Ujung-ujungnya menyalahkan orang lain.
Ketika kita ingin tahu bagaimana hasil komunikasi kita adalah dengan melihat respon orang lain. Jangan-jangan prilaku mereka terhadap saya adalah karena merupakan respon saya sendiri. Jangan-jangan saya yang terlalu tinggi egonya sehingga mengharapkan mereka harus berprilaku seperti yang saya inginkan. Jangan-jangan saya yang bersikap kaku dan jaim. Sehingga mereka merespon hal yang berbeda terhadap saya. Buktinya mereka juga punya lingkungan yang menerima mereka seperti itu pula.
Saya kemudian tersadar untuk menghentikan 'rekayasa' peta internal, menurut program berpikir pengalaman saya sendiri. Lantas mehilangkan prespsi saya untuk tidak menilai apapun dulu lalu melihat fakta-faktanya terlebih dahulu.
Saya kemudian tersadar untuk menghentikan 'rekayasa' peta internal, menurut program berpikir pengalaman saya sendiri. Lantas mehilangkan prespsi saya untuk tidak menilai apapun dulu lalu melihat fakta-faktanya terlebih dahulu.
Untuk menjawab tantangan "Bagaimana saya bisa diterima" serta disambut hangat oleh mereka. Saya sendiri perlu mengubah formula sosial saya kepada mereka.
Jangan mengharapkan orang lain berprilaku dengan apa yang kita harapkan. Itu berarti memaksakan peta internal kita kepada orang lain. Kalau itu kita lakukan kebanyakan kita akan kecewa. Kuncinya adalah menerima cara mereka terlebih dahulu. Lalu lihat peluang untuk memperbaiki. Sesuai dengan dengan kesalahan yang bisa kita atasi dengan menggunakan cara-cara elegan.
Jangan mengharapkan orang lain berprilaku dengan apa yang kita harapkan. Itu berarti memaksakan peta internal kita kepada orang lain. Kalau itu kita lakukan kebanyakan kita akan kecewa. Kuncinya adalah menerima cara mereka terlebih dahulu. Lalu lihat peluang untuk memperbaiki. Sesuai dengan dengan kesalahan yang bisa kita atasi dengan menggunakan cara-cara elegan.
Kita tidak bisa meminta orang lain berprilaku sebagaimana kita inginkan, tapi kita bisa mempengaruhi prilaku mereka dengan mengubah prilaku kita sendiri, tanpa takut kehilangan jati diri dan karakter kita. Butuh tenaga dan keberanian keluar dari zona nyaman itu sendiri.
Salam manis 🌸
Tidak ada komentar:
Posting Komentar